Tuesday, 22 April 2025

cerita fiksii

 Tentu! Berikut cerita fiksi berjudul "Bayangan di Ujung Senja", dengan panjang lebih dari 500 kata:



---


Bayangan di Ujung Senja


Senja itu tampak berbeda. Langit tidak sekadar merah jingga, tapi seperti menyimpan rahasia yang tak ingin dibocorkan. Di tepi danau kecil yang sepi, Dira duduk sendirian di atas batu besar, memeluk lututnya, menatap air yang tenang. Sudah lima hari ia kembali ke desa kecil tempat ia dibesarkan, namun suasana di sekitarnya terasa asing, seperti ada yang hilang—atau mungkin, seperti ada yang mengintai.


Dira tak pernah benar-benar percaya takhayul, meski desa ini penuh cerita tentang hantu penjaga danau atau suara-suara aneh di malam hari. Tapi sejak kepulangan dari kota, ia mulai mengalami hal-hal yang membuat logikanya bertanya-tanya.


Malam pertama, ia mendengar langkah kaki di luar rumah meski tak ada satu pun tetangga yang tinggal dekat. Malam kedua, ada ketukan lembut di jendela kamarnya yang terkunci rapat. Dan sejak malam ketiga, ia merasa selalu diawasi. Namun setiap kali ia menoleh, hanya bayangan senja yang tersisa.


“Dira,” suara itu datang dari belakang.


Ia menoleh cepat. Seorang lelaki berdiri tak jauh darinya. Wajahnya samar dalam cahaya senja, namun mata itu tak asing.


“Arga?” tanyanya tak percaya. “Bukankah kamu sudah...?”


“Meninggal?” lelaki itu tersenyum pahit. “Ya, setahun yang lalu. Di danau ini.”


Dira bergidik. Arga adalah teman masa kecilnya. Mereka sangat dekat, nyaris seperti saudara. Tapi tahun lalu, sebelum ia pindah ke kota, Arga menghilang. Beberapa warga bilang ia tenggelam, tapi tubuhnya tak pernah ditemukan.


“Kamu... kamu hantu?” suara Dira gemetar.


“Entahlah,” jawab Arga, menatap danau. “Yang kutahu, aku terjebak di sini. Aku tidak bisa pergi. Setiap senja, aku muncul. Tapi tak ada yang bisa melihatku, kecuali kamu.”


“Kenapa aku?” tanya Dira, hampir berbisik.


“Karena kamu satu-satunya yang pernah membuatku merasa hidup,” jawab Arga lirih. “Aku mencintaimu, Dira. Tapi aku tak pernah punya keberanian untuk mengatakannya. Dan mungkin... itu yang menahanku di sini.”


Air mata Dira mengalir tanpa ia sadari. Banyak hal yang ingin ia katakan—bahwa ia juga menyimpan rasa, bahwa ia menyesal pergi tanpa pamit, bahwa ia berharap bisa memutar waktu. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya satu kalimat, “Maafkan aku.”


Arga tersenyum. “Kamu tidak salah, Dira. Aku hanya ingin kau tahu... bahwa aku bahagia pernah mengenalmu.”


Senja mulai meredup. Tubuh Arga perlahan memudar bersama cahaya terakhir matahari. “Terima kasih sudah datang,” katanya sebelum benar-benar lenyap.


Dira menatap kosong ke danau. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan nostalgia. Ia tahu, mulai hari itu, bayangan senja tak akan menakutinya lagi. Ia telah berdamai, dengan masa lalu dan dengan kehilangan.


Dan jauh di lubuk hatinya, ia percaya, Arga telah menemukan jalannya pulang.



---



No comments:

Post a Comment