Di Balik Senja
Langit sore itu dipenuhi warna jingga yang indah. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Raka yang sedang duduk di bangku taman, menatap hampa ke arah danau yang tenang. Di sebelahnya, Lia, adiknya, mencoba menarik perhatian Raka dengan candaan ringan, tetapi Raka hanya tersenyum tipis. Dia sedang tenggelam dalam pikirannya.
Mereka baru saja kehilangan ibu mereka dua bulan lalu. Ibu mereka adalah sosok yang sangat berarti dalam hidup mereka. Sepeninggalnya, Raka merasakan kekosongan yang mendalam, sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan dalam kata-kata.
“Kenapa kakak selalu diam setiap kali kita ke sini?” tanya Lia dengan suara lembut.
Raka menoleh, menatap adiknya yang kini sudah beranjak remaja. Ia ingat betul bagaimana ibu selalu membawa mereka ke taman ini setiap sore. “Aku hanya... mencoba mengingat,” jawabnya lirih.
Lia terdiam sejenak. “Mengingat apa?”
“Segalanya. Tentang ibu. Tentang bagaimana dia selalu tertawa meski hidup kita sulit. Tentang bagaimana dia selalu berkata bahwa senja adalah waktu terindah untuk kita berkumpul. Tapi sekarang... senja hanya mengingatkanku pada kesedihan.”
Lia tersenyum samar. “Aku juga merindukan ibu, Kak. Tapi aku yakin, ibu tak mau melihat kita terus bersedih.”
Raka mengangguk perlahan. Ia tahu adiknya benar, tetapi rasa kehilangan itu begitu dalam. Mereka duduk bersama dalam keheningan, membiarkan kenangan masa lalu menghampiri mereka di antara warna-warna senja yang memudar.
Saat matahari hampir tenggelam, Raka berkata, “Mulai besok, kita ke sini bukan untuk mengingat kesedihan, tapi untuk mengenang kebahagiaan yang pernah kita miliki bersama ibu.”
Lia tersenyum lebar dan menggenggam tangan kakaknya. “Aku setuju, Kak. Ibu pasti bahagia melihat kita tersenyum lagi.”
Di balik senja yang semakin memudar, mereka berdua menemukan secercah harapan baru, untuk melanjutkan hidup dengan membawa kenangan ibu di hati mereka.
No comments:
Post a Comment