Nenek Ani, dengan rambut putihnya yang seputih kapas dan kulit keriput yang bercerita tentang perjalanan panjang hidupnya, tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di pinggir Desa Sukasari. Rumah itu sederhana, dindingnya terbuat dari kayu tua yang mulai lapuk dimakan usia, atapnya terbuat dari sirap yang sudah mulai rapuh. Kehidupannya pun sederhana, diisi dengan rutinitas merawat kebun kecilnya dan mengasuh kucing kesayangannya, Mbok Gendut.
Suatu hari, saat Nenek Ani sedang mencangkul kebunnya, sekopnya membentur sesuatu yang keras. Ia terkejut, lalu menggali tanah di sekitarnya. Ternyata, ia menemukan sebuah peti kayu tua yang terkubur setengah di dalam tanah. Peti itu sudah lapuk di beberapa bagian, tetapi masih cukup kokoh untuk dibuka.
Dengan tangan gemetar karena campuran ketakutan dan kegembiraan, Nenek Ani membuka peti itu. Ia menduga akan menemukan emas atau permata, harta karun yang selama ini menjadi impian banyak orang. Namun, yang ia temukan bukanlah emas berkilauan atau permata yang mempesona. Di dalam peti itu, tersimpan rapi sebuah kumpulan surat-surat tua, berwarna kuning kecoklatan karena usia.
Dengan hati-hati, Nenek Ani mengambil satu persatu surat itu. Tulisan tangan yang indah dan tinta yang memudar menghiasi setiap lembar surat. Ia mengenali tulisan itu, tulisan tangan Pak Harjo, suaminya yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu. Air mata mulai membasahi pipinya yang keriput. Ia membaca surat-surat itu satu per satu, setiap kata, setiap kalimat membangkitkan kenangan manis tentang masa muda mereka.
Surat-surat itu bukan sekadar kumpulan kata-kata, tetapi sebuah perjalanan waktu yang membawa Nenek Ani kembali ke masa-masa indah bersama Pak Harjo. Ia membaca tentang janji-janji mereka, tentang mimpi-mimpi mereka, tentang cinta mereka yang abadi. Setiap surat adalah bukti nyata tentang cinta yang telah mereka bangun selama puluhan tahun.
Nenek Ani menghabiskan sepanjang sore itu membaca surat-surat tersebut. Ia tersenyum, ia menangis, ia tertawa. Ia merasa seolah-olah Pak Harjo masih ada di sisinya, membisikkan kata-kata cinta ke telinganya. Harta karun yang ia temukan bukanlah emas atau permata, tetapi sesuatu yang jauh lebih berharga: cinta yang abadi, kenangan yang tak ternilai, dan bukti nyata tentang kehidupan yang telah mereka jalani bersama. Di mata Nenek Ani, kumpulan surat-surat itu adalah harta karun yang paling berharga di dunia. Lebih berharga daripada emas, lebih berharga daripada permata. Itulah harta yang tak akan pernah bisa hilang, tak akan pernah bisa pudar, selamanya terukir di dalam hatinya.
No comments:
Post a Comment